Oleh: thofa17 | September 18, 2016

Susahnya Jadi Pemimpin


Pemimpin bukanlah orang yang “senang melihat orang lain sedih, dan sedih melihat orang lain senang”. Pemimpin adalah orang yang pandai menyembunyikan kesedihan diri karena memikirkan untuk menyenangkan banyak orang. Pemimpin adalah orang yang pandai membagi kesenangan diri untuk dapat dirasakan oleh banyak orang.

Terkadang pemimpin harus terampas kemerdekaan diri dan keluarganya. Betapa demi memimpin organisasi, sering pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga jadi terlantar. Betapa pasangan akan sering complain karena jadwal acara keluarga jadi nomer sekian. Betapa anak-anak pun juga menuntut hal sama. Bahkan jadwal antar jemput anak, mengantar belanja, tamasya, dan makan bersama dianggap bukan urusan wajib karena banyak urusan organisasi yang menyita waktu dan tenaga.

Di sinilah letak “sedihnya jadi pemimpin”. Sehingga banyak orang memilih langkah aman untuk tidak mau menjadi pemimpin organisasi. Mereka lebih memilih untuk memimpin diri sendiri dan keluarganya. Alasannya, banyak pemimpin mengaku sukses mengelola organisasinya, tetapi gagal memimpin keluarganya. Banyak suami merasa sukses jadi pemimpin organisasi, tetapi ternyata tidak punya wibawa lagi di depan istri dan anak karena seringnya mengingkari janji untuk waktu bersama keluarga. Banyak istri merasa sukses berkarier jadi pemimpin organisasi, tetapi ternyata tidak ada waktu lagi mendidik anaknya. Dalam istilah ironi, lebih mempercayakan pendidikan anak kepada pembantu rumah tangga dan suplai protein dari si Sapi (baca: tanpa ASI).

Ada juga orang yang tidak mau mengajukan diri jadi calon pemimpin manakala kondisi diri dan keluarganya belum baik secara lahir maupun batin. Mereka memakai slogan “lha wong ngurus diri dan keluarga aja gak sukses, kok malah mau maju untuk memimpin banyak orang”. Tapi ada juga yang bertanya : “Tapi khan anda punya bekal kepakaran dan gelar yang memenuhi syarat buat nyalon? Kenapa takut?”. Mereka tetap tak bergeming. Bahkan mereka punya keyakinan bahwa seni memimpin tidak ada kaitan dengan kepakaran dan gelar ilmiah. Seni memimpin mengalir seiring potensi bakat dan minat sejak kecil. Biasanya terlihat sejak kecil, dimana saat berkumpul dengan banyak orang, sering menjadi pemimpin (leader) baik secara formal maupun tidak.

Namun sekarang banyak orang yang mengaku “pantas menjadi pemimpin” tanpa mempertimbangkan hati nurani dan potensi diri. Mereka lebih tergiur pada ‘aroma kekuasaan’ dan konsekuensi perolehan materi yang akan didapatkan. Mereka berdalih “saya khan tidak memimpin sendiri, kekurangan saya akan ditutupi oleh kelebihan para pembantu saya”. Celakanya, pemilihan para pembantu/pengurus lebih didasarkan pada unsur per-konco-an dan ‘balas budi’ dengan mengesampingkan unsur profesionalisme dan kualitas SDM.

Pemimpin yang baik tidak memakai “jurus pelampiasan”. Melampiaskan percekcokan urusan rumah tangga pada kegiatan organisasi. Atau melampiaskan kepenatan urusan organisasi pada urusan rumah tangga. Pemimpin yang baik perlu “empan papan” (pandai menempatkan diri), karena dialah ‘kepala’ dari seluruh ‘badan’ (organisasi). Sikap pemimpin dapat diartikan sebagai peng-ejawantahan (aktualisasi) sikap organisasi. Jadi, berhati-hatilah dalam ucapan dan tindakan.

Sedihnya jadi pemimpin, berbuat benar saja masih saja ada yang mencela, apalagi sang pemimpin sering membuat kesalahan. Ingatlah slogan pemimpin besar masa lalu, yang mengatakan : “Saya adalah orang terakhir yang sejahtera, setelah rakyatku”. Atau pemimpin yang berujar : “Marahku atas nama rakyatku yang marah, Sedihku karena rakyatku sedang bersedih, dan Senangku karena rakyatku merasa senang”.

(mkundarto.wordpress.com)

Older Posts »

Kategori